Selain Pengobatan Tradisional atau Herbal, Revolusi Mental
merupakan frase kata yang sedang popular dan banyak di perbincangkan beberapa
waktu belakangan ini. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang dimaksud
dengan revolusi adalah perubahan yang sangat mendasar dalam suatu bidang
tertentu, sedangkan mental adalah sesuatu bersangkutan dengan batin, jiwa dan
watak manusia yang bukan bersifat badan atau tenaga. Jadi apabila dua kata
revolusi dan mental digabungkan maka dapat ditarik satu arti dari frase ini
yaitu merubah watak manusia, yang tentunya ke arah yang lebih baik dari
sebelumnya.
Revolusi
Mental pertama kali dipopulerkan oleh Bapak Sosialis Komunis Dunia bernama Karl
Marx, dimana pemikirannya sangat banyak dipengaruhi oleh Filosofis Atheis Young
Hegelian. Young Hegelian merupakan seorang filsuf yang sangat terkenal di
Berlin. Karl Marx muda yang pada waktu itu aktif di perkumpulan Pemuda Hegelian
yang merupakan kelompok ekstrim kiri anti Agama. Pemuda Hegelian beranggotakan
para Dosen Muda dan pemuda ekstrim kiri. sementara istilah Revolusi Mental
sendiri di ciptakan untuk program Cuci Otak dalam pengembangan faham Sosialis
Komunis dikawasan Eropa yang daerahnya kapitalis, karena Agama yang dogmatis
dianggap sebagai penghambat dalam pengembangan faham Komunis. Istilah Revolusi
Mental juga dipakai oleh pendiri Partai Komunis China yg bernama Chen Duxiu
bersama temannya yg bernama Li Dazhao sebagai doktrin dan cuci otak kepada para
Buruh dan Petani dalam menentang kakaisran China.
Dalam revolusi nasional Indonesia, gagagasan
Revolusi Mental memang tidak bisa dipisahkan dari Bung Karno. Dialah yang
menjadi pencetus dan pengonsepnya. Dia pula yang mendorong habis- habisan agar
konsep ini menjadi aspek penting dalam pelaksanaan dan penuntasan revolusi
nasional Indonesia. Gagasan Revolusi Mental mulai dikumandangkan oleh Bung Karno
di pertengahan tahun 1950-an. Tepatnya di tahun 1957.
Esensi dari Revolusi Mental ala Bung Karno ini adalah
perombakan cara berpikir, cara kerja/berjuang, dan cara hidup agar selaras
dengan semangat kemajuan dan tuntutan revolusi nasional. “Ia adalah satu
gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang
berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala,”
kata Bung Karno.
Perombakan cara berpikir, cara kerja, dan cara hidup
ini punya dua tujuan besar: pertama, menamankan rasa percaya diri pada diri
sendiri dan kemampuan sendiri; dan kedua, menanamkan optimisme dengan daya kreatif di kalangan
rakyat dalam menghadapi rintangan dan kesulitan-kesulitan bermasyarakat dan
bernegara.
Untuk melancarakan Revolusi Mental ini, Bung Karno
kemudian menganjurkan ‘Gerakan Hidup Baru’. Gerakan ini merupakan bentuk
praksis dari Revolusi Mental. Menurut Soekarno, setiap revolusi mestilah
menolak ‘hari kemarin’. Artinya, semua gaya hidup lama, yang tidak sesuai dengan
semangat kemajuan dan tuntutan revolusi, mestilah dibuang.
Bung Karno sadar, Revolusi Mental tidak akan berjalan hanya dengan
celoteh dan kotbah tentang pentingnya perbaikan moral dan berpikir positif. Revolusi
Mental versi Bung Karno bukanlah ajakan berpikir positif dan optimistik ala
Mario Teguh. Karena itu, sejak tanggal 17 Agustus 1957 pemerintahan Soekarno
melancarkan sejumlah aksi: hidup sederhana, gerakan kebersihan atau
kesehatan,
gerakan pemberantasan buta-huruf, gerakan memassalkan gotong-royong, gerakan
mendisiplikan dan mengefisienkan perusahaan dan jawatan negara, gerakan
pembangunan rohani melalalui kegiatan keagamaan, dan penguatan kewaspadaan
nasional.
Soekarno menyebutkan Revolusi Mental bukanlah pekerjaan satu dua hari,
melainkan sebuah proyek nasional jangka panjang dan terus-menerus.
“Memperbaharui mentalitet suatu bangsa tidak akan selesai dalam satu hari,”
ujarnya. Dia juga bilang, memperbaharui mentalitas suatu bangsa tidak seperti
orang ganti baju; dilakukan sekali dan langsung tuntas (Rudi Hartono dalam
Berdikari, 2014).
Revolusi Mental kemudian booming kembali di era pemerintahan
Jokowi. Beliau menyebutkan bahwa hasil pembangunan yang belum optimal yang
diselenggaraakan pemerintah terutama diakibatkan oleh mental bangsa yang belum
berubah sejak era Orde Baru. Untuk itu program Revolusi Mental muncul dalam
rangka membangun bangsa dengan merubah paradigma dan mindset tiap-tiap diri
(individu). Revolusi Mental digambarkan dalam tiga nilai yakni integritas, etos
kerja dan gotong royong. Dalam kehidupan sehari-hari, praktek Revolusi Mental
adalah menjadi manusia yang berintegritas, mau bekerja keras, dan punya
semangat gotong royong
Dalam bidang kesehatan, Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F.
Moeloek mengingatkan kembali masyarakat untuk mendukung Gerakan Nasional Revolusi
Mental yang digulirkan pemerintah dalam kesempatan upacara bendera bertajuk
"Gerakan Nasional Revolusi Mental" di Jakarta September 2015 lalu. Ia
mengungkapkan contoh intervensi Revolusi Mental dalam bidang kesehatan yakni
salah satunya dengan pengetahuan Ibu pasca melahirkan mengenai air susu ibu
(ASI), bahwa ASI adalah hak setiap anak yang baru dilahirkan. ASI harus
diberikan secara eksklusif selama enam bulan intensif dan setelah itu diberi
makanan pendamping ASI yang bergizi. Menurutnya hal ini adalah hal awal yang
harus diterapkan agar tercipta generasi yang maju, berkarakter, mandiri,
berdaya saing untuk kemajuan bangsa Indonesia sendiri (berita dikutip dari
Antar News, 2015).
Gerakan Nasional Revolusi Mental ini sendiri hanya dapat
berjalan secara optimal dan efektif dengan keterlibatan dan partisipasi aktif
seluruh elemen masyarakat. Untuk itu dibutuhkan komunikasi yang aktif dari
berbagai lini termasuk bidang kesehatan masyarakat. Kesehatan adalah sektor
yang tidak dapat berdiri sendiri oleh karenanya dibutuhkan peran sektor
laintermasuk sektor komunikasi, karena komunikasi adalah salah satu jembatan
yang bisa bersinergi dengan sektor kesehatan.
Revolusi Mental dan
keterkaitannya dengan komunikasi kesehatan di dalam keluarga?
Tiga nilai dalam Revolusi Mental yakni integritas, etos kerja
dan gotong royong dapat diterapkan di berbagai lingkungan baik bermasyarakat,
lingkungan kerja, lingkungan sekolah maupun keluarga. Menurut penulis pribadi Revolusi
Mental perlu diawali dari lingkungan keluarga. Terlebih keluarga merupakan
lingkungan yang pertama dan utama bagi seorang anak. Peran orang tua sangat
berpengaruh karena orang tua cenderung menjadi role-model atau teladan bagi
anak anaknya maka lahirlah peribahasa “buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya”
atau “anak adalah bagaimana orang tuanya”.
Komunikasi menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan
sehari-hari. Selaku makhluk sosial, tanpa adanya komunikasi, manusia tentu
tidak dapat menjalankan aktifitas sehari-sehari secara optimal dan maksimal. Komunikasi adalah
suatu proses penyampaian ide, perasaan dan pikiran antara dua orang atau lebih
sehingga terjadi perubahan sikap dan tingkah laku bagi semua yang saling
berkomunikasi.
Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam
kehidupan manusia dimana ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial,
dalam interaksi dengan kelompoknya. Pada dasaranya keluarga adalah sebuah
komunitas kecil. Kesadaran untuk hidup bersama dalam satu atap sebagai suami
istri dan saling interaksi dan berpotensi punya anak akhirnya membentuk
komunikasi baru yang disebut keluarga. Karenanya keluargapun dapat diberi
batasan sebagai sebuah group yang terbentuk dari perhubungan laki-laki dan
wanita perhubungan mana sedikit banyak bertahan lama untuk menciptakan dan
membesarkan anak-anak.
Keluarga adalah suatu unit atau lingkungan masyarakat
yang paling kecil atau merupakan masyarakat yang paling bawah dari satu
lingkungan negara. Posisi keluarga atau rumah tangga ini sangat sentral seperti
diungkapkan oleh Aristoteles bahwa keluarga rumah tangga adalah dasar pembinaan
negara. Dari beberapa keluarga rumah tangga berdirilah suatu kampung kemudian
berdiri suatu kota. Dari beberapa kota berdiri daru propinsi, dan dari beberapa
propinsi berdiridatu negara (Noor, 1983).
Komunikasi Keluarga adalah suatu pengorganisasian yang
menggunakan kata-kata, sikap tubuh (gesture), intonasi suara, tindakan
untuk menciptakan harapan image, ungkapan perasaan serta saling membagi
pengertian (Sedwig, 1985). Komunikasi dalam keluarga juga dapat diartikan
sebagai kesiapan membicarakan dengan terbuka setiap hal dalam keluarga baik
yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, juga siap menyelesaikan
masalah-masalah dalam keluarga dengan pembicaraan yang dijalani dalam kesabaran
dan kejujuran serta keterbukaan.
Komunikasi kesehatan dapat
mempengaruhi sikap, persepsi, kesadaran, pengetahuan dan norma sosial yang
kesemuanya berperan sebagai prekursor dalam perubahan prilaku. Komunikasi
kesehatan sangat efektif dalam mempengaruhi prilaku karena didasarkan pada
psikologi sosial, pendidikan kesehatan, komunikasi massa, dan pemasaran untuk
mengembangkan dan menyampaikan promosi kesehatan dan pesan
pencegahan pencegahan.
Komunikasi kesehatan adalah
pendekatan yang beragam dan multidisipin untuk mencapai buat kebijakan dan
masyarakat untuk memperkenalkan, mengadopsi atau mendukung perilaku, praktek
atau kebijakan yang pada akhirnya akan meningkatkan hasil kesehatan dimana
pesan-pesan kesehatan dikomunikasikan dari para pakar di bidang kesehatan medis
dan masyarakat.
Komunikasi merupakan elemen penting dalam meningkatkan
kesehatan baik masyarakat maupun individu. Di dalam keluarga sendiri, sebagai
orang tua ialah wajib menjaga hubungan komunikasi (kesehatan), memiliki
kemampuan komunikasi yang baik dengan anaknya, pengetahuan yang baik mengenai
informasi informasi kesehatan tertentu dan tentunya mampu mengkomunikasikan
secara non-verbal suatu informasi kesehatan dalam hal ini mencotohkan dan
menerapkan hal hal yang baik mengenai kesehatan tersebut. Komunikasi dalam
keluarga menurut Kumar (Wijaya, 1987) memiliki ciri- ciri; Empati, keterbukaan,
dukungan, perasaan postif dan kesamaan.
Empati, empati adalah suatu perasaan individu yang
merasakan sama seperti yang dirasakan orang lain, tanpa harus secara nyata
terlibat dalam perasaan ataupun tanggpan orang tersebut.
Setiap petugas kesehatan harus memiliki sifat empati,
terhadap suatu keluarga atau individu dalam keluarga yang memiliki masalah
kesehatan tertentu. Perasaan empati ini diperlukan agar orang yang mengalami
masalah kesehatan tersebut dapat lebih terbuka dalam menyampaikan masalah
masalahnya lebih lanjut.
Syarat utama dari sikap empati adalah kemampuan untuk
mendengar dan meengerti orang lain, sebelum di dengar dan di mengerti oleh
orang lain. Setiap orang harus memiliki rasa empati, karena akan menanamkan salah
satu dari tiga nilai Revolusi Mental yakni gotong royong. Rasa empati terhadap
orang lain dapat membantu meringankan beban orang yang mengalami masalah kesehatan
atau menderita suatu penyakit dan dapat menciptakan sifat peduli terhadap
sesama warga masyaraakat.
Keterbukaan, keterbukaan adalah sejauh
mana individu memiliki keinginan untuk terbuka dengan orang lain dalam
berinteraksi. Keterbukaan yang terjadi dalam bentuk komunikasi ini memungkinkan
perilakunya dapat memberikan tanggapan yang jelas terhadap apa yang
diungkapkannya.
Dalam konsultasi kesehatan diperlukan keterbukaan sehingga
penyampaian solusi atau informasi tepat guna atau tepat diagnosis. Sebagai
contoh, ketika melakukan konsultasi KB pasangan suami istri maupun PUS
(pasangan usia subur) diharapkan terbuka baik dari kondisi kesehatan sampai
kondisi perekonomian mereka agar petugas kesehatan dapat memberikan rekomendasi
rekomendasi yang sesuai dengan keadaan mereka. Misal rekomendasi akan punya
anak berapa dan berapa jaraknya, jika pasutri atau pus tadi menerima
rekomendasi tersebut dengan alasan kesejahteraan keluarganya secara tidak
langsung juag akan meringankan permasalahan negara dari stabilitas
kependudukan, ekonomi, ketahanan pangan dan kualitas generasi akan datang yang
akan lebih terjamin dengan terkontrolnya jumlah pertumbuhan penduduk.
Dengan bersifat terbuka akan dicapai nilai integritas dalam
tiga nilai Revolusi Mental. Integritas
yang didalamnya mencakup kejujuran, kepercayaan, karakter, sikap bertanggung
jawab. dengan bersifat terbuka keluarga akan jujur menyampaikan masalahnya
kepada petugas, bertanggung jawab atas apa yang dikataknnya dan yang paling
penting dari sifat terbuka diawali dengan rasa percaya, keluarga menanamkan
rasa percaya mereka terhadap petugas kesehatan.
Keterbukaan
lingkungan keluarga juga tidak hanya antara keluarga dan petugas kesehatan
tetapi antar sesama anggota keluarga. Di dalam keluarga diharapkan anak terutama
bersifat lebih terbuka dengan orang tuanya tentang berbagai masalah yang
dihadapinya termasuk masalah kesehatan, terutama saat anak dalam usia remaja
karena pada usia ini anak dalam kondisi labil dan dapat terpengaruh dengan
lingkungan luar dengan cepat. Pentingnya sikap terbuka contohnya dengan
perubahan perubahan yang dialami setiap anak saat pubertas, orang tua juga
harus lebih peka terhadap setiap perubahan yang dialami anaknya. Dengan
keterbukaan anak kepada orang tuanya, orang tua akan percaya terhadap anaknya
dan anak akan lebih bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
Dukungan, adanya dukungan dapat membantu seseorang
lebih bersemangat dalam melakukan aktivitas serta meraih tujuan yang
diinginkan. Dukungan ini lebih diharapkan dari orang yang terdekat, yaitu
keluarga.
Individu
dengan masalah kesehatan atau penyakit yang tingkatnya kronik sangat
membutuhkan dukungan dari orang sekitarnya, dan yang paling utama adalah dari
keluarganya sendiri. Keluarga merupakan pendukung utama dalam proses penyembuhan
suatu penyakit. Misalnya, saat salah satu anggota keluarga mengalami penyakit
leukimia maka anggota keluarga yang lain wajib memberikan dukungan berupa
material maupun moral. Dengan membiayai setiap pengobatan penderita untuk
menyembuhkan kesakitan atau mengurangi rasa sakit anggota keluarga yang
menderita semampu anggota keluarganya. Dukungan moral dengan memberikan kata
kata dukungan atau kata kata motivasi yang postif untuk penderita seperti,
“jangan khawatir, semua penyakit pasti ada obatnya” atau “sabar yang kuat ya,
nak. Kamu sebentar lagi pasti akan sembuh”
Dengan
memberikan dukungan kita akan menumbuhkan nilai gotong royong berupa
solidaritas terhadap sesama dan nilai etos kerja yakni menanamkan nilai optimis
pada diri baik penderita maupun keluarga yang mendukung.
Perasaan positif, perasaan yaitu dimana individu tertentu
mempunyai perasaan positif terhadap yang sudah dikatakan orang lain terhadap
dirinya.
Didalam
keluarga ketika ada anggota keluarga yang sakit, anggota keluarga yang lainnya harus
memberikan dukungan moral dengan memotivasi dan mengutarakan pemikiran
pemikiran positif terhadapnya. Dengan ini akan kita akan menumbuhkan nilai etos
kerja yakni menanamkan nilai optimis pada diri baik penderita maupun keluarga
yang mendukung.
Kesamaan, kesamaan yang dimaksudkan yakni antara dua
atau lebih orang yang berkomuniksi dalam lingkup tertentu mempunyai kedudukan
sama dalam berbicara dan saling mendengarkan.
Ketika
berkomunikasi tidak ada diantara dua orang atau lebih yang berkomunikasi kedudukan
nya lebih tinggi dari yang lainnya. Tidak ada yang mengajarkan siapa, hal ini
karena ketika berkomunikasi terjadi pertukaran informasi secara dua arah apalgi
dalam lingkup keluarga. Kesamaan dapat diungkapkan melalui perlakuan yang
ramah, saling menghargai, lemah lembut, sopan dan penuh pengendalian diri.
Dengan sikap ini maka kelewasaan dalam pertukaraan informasi antara hubungan
keluarga ini akan jadi lebih terbuka, sehingga banyak hal yang dapat
diungkapkan dari diskusi tersebut. Dengan menanamkan sikap ini, maka akan
ditanamkan kesmaan derajat pada setiap orang hal ini terkait integritas etos
kerja dan gotong royong dalam nilai nilai Revolusi Mental.
Salah satu fungsi keluarga adalah Fungsi
Perawatan Atau Pemeliharaan Kesehatan (The Health Care Function). Untuk mencapai nilai nilai Revolusi Mental
terkait rasa tanggung jawab, kemandiri, gotong royong, produktivitas dan
lainnya setiap keluarga harus memahami dan melakukan 5 poin fungsi atau peran pemeliharaan
kesehatanm diantaranya;
Mengenal masalah kesehatan, dalam hal ini orang tua harus mempu mengenal
keadaan sehat dan perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarganya.
Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung
akan menjadi perhatian dari orang tua atau pengambil keputusan dalam keluarga.
Dengan ini orang tua akan merasa bertanggung jawab untuk selalu mengupgrade
diri dengan menambah pengetahuan tentang informasi informasi kesehatan baik
yang diperoleh secara langsung lewat tenaga kesehatan atau diperoleh dengan
mencari informasi secara mandiri dan selalu pay attention atau memperhatikan
terhadap segala perkembangan dan perubahan perubahan yang terjadi pada diri
mereka sendiri maupun pada anak anak mereka. Dalam prakteknya orang tua akan
menggunakan komunikasi baik verbal maupun non verbal. Non-verbal contohnya
dengan mengamati oerilaku anaknya, atau lewat komunikasi verbal dengan bertanya
langsung dan konsultasi.
Memutuskan
tindakan yang tepat bagi keluarga, peran ini merupakan upaya keluarga yang
utama untuk mencari pertolongan yang sesuai dengan keadaan keluarga, dengan
pertimbangan siapa diantara keluarga yag mempunyai keputusan untuk memutuskan
tindakan yang tepat (Suprajitno, 2004). Dalam hal ini adalah orang tua memiliki
peran penting untuk memutuskan tindakan apa yang akan mereka lakukan untuk
anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan kesehatan apakah akan dilakukan
padanya tindakan pengobatan atau perawatan atau tidak, apakah masalah kesehatan
tersebut masih bisa ditangani sendiri atau tidak, apakah masalah kesehatan
tersebut akan mempengaruhi langsung ataupun tidak langsung terhadapa keluarga
baik dari segi ekonomi sosial ataupun budaya. Dengan peran ini tidak hanya
pembuat keputusan nantinya tetapi semua anggota keluarga akan belajar, bagaimana
sebuah keputusan akan berdampak pada tidak hanya satu sisi kesembuhan tetapi
hal lainnya. Dari peran ini nilai Berpikir Secara Universal dan Kritis dari
Revolusi Mental akan tercapai.
Memberikan perawatan terhadap keluarga yang sakit, beberapa keluarga akan membebaskan orang yang sakit dari peran atau
tanggung jawabnya secara penuh. Pemberian perawatan secara fisik bisa jadi merupakan
beban yang paling berat yang dirasakan oleh keluarga. Perawatan secara fisik
yang dimaksud adalah perawatan baik tarapeutik di rumah sakit dan pusat
pelayanan kesehatan ataupun melakukan pertolongan pertam di rumah saja.
Keduanya memiili kebutuhan yakni ekonomi maupun pengetahuan. Apakah keluarga
akan aktif membantu baik moral maupun material terhadap anggota keluarga yang mengalami
sakit (merawat), atau bagaimana sikap keluarga terhadap keluarganya yang sakit.
Dari hal ini, akan tumbuh nilai Empati dan Gotong Royong pada setiap individu
dalam keluarga sebagai wujud dari Revolusi Mental.
Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin
kesehatan keluarga, hal ini berkaitan dengan
pengetahuan dan kemampuan setiap anggota keluarga mengenai lingkungannya,
termasuk yang paling berpengaruh adalah sanitasi. Pengetahuan tentang
pentingnya sanitasi dan manfaatnya sangat diperlukan dalam lingkungan keluarga
karena sifatnya yang cukup banyak mempengaruhi kesehatan. Dengan ini setiap
anggota keluarga akan menanamkan nilai Revolusi Mental diantaranya Tanggung
Jawab atas kebersihan dan penjagaan sanitasi lingkungan rumah dan Gotong Royong
atau kebersamaan dalam meningkatkan dan memelihara lingkungan rumah yang
menunjang kesehatan orang orang didalam lingkungan tersebut.
Menggunakan pelayanan kesehatan, mengenai hal ini adalah pengetahuan dan kepercayaan anggota keluarga
terhadap pelayanan kesehatan. Apakah ketika ada yang sakit akan dibawa ke pusat
pelayanan kesehatan seperti klinik, puskesmas, rumah sakit ataukah ketempat
pelayanan kesehatan tradisional bisa jadi dukun dan lain sebagainya. Banyak hal
yang mempengaruhi apakah keluarga bersedia menggunakan pelayanan kesehatan
primer ataupun sekunder diantaranya kepercayaan atau budaya, rasa trauma
terhadap perlakuan tetentu atau atas hasil tertentu terhadap kesehatan di masa
lalu (pengalaman kurang menyenangkan terhadap fasilitas kesehatan atau petugas
kesehatan tertentu), dan apakah fasilitas kesehatan tersebut dapat dijangkau
dengan baik oleh keluarga atau tidak. Nilai yang kemungkinan didapat dari peran
ini adalah nilai Kepercayaan dan nilai untuk mau Terus Berkembang/Explorasi
Diri.
Seperti yang sudah
dijelaskan sangat jauh sebelumnya, bagaimana seorang anak atau anggota keluarga
bergaul atau dalam bersosialisasi di masyarakat adalah bagaiman ia dalam
lingkungan keluarganya. Nilai nilai Revolusi Mental harus dikenalkan diterapkan
terlebih dahulu di keluarganya. Karena keluarga adalah Madrasah atau Tempat
Belajar paling utama dari tiap tiap individu.
Essay berikut dilombakan dalam Perayaan Bulan K3 Nasional yang diselenggarakan oleh BEM Fakultas Kesehatan Masyarakat Univeristas Mulawarman
SAFETY IS
EVERYBODY’S BUSINESS
(Pengembangan
Budaya K3 dengan Program Pemberdayaan Pekerja untuk Mencapai Produktivitas
Kerja yang Tinggi)
Pendahuluan
Istilah budaya keselamatan pertama kali muncul setelah bencana
Chernobyl pada tahun 1986. Berdasarkan hasil investigasi oleh International
Atomic Energy Agency (IAEA) deikathui bahwa budaya keselamatan yang buruk
merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kecelakaan tersebut.
Kecelakaan lain yang mengungkapkan bahwa budaya keselamatan termasuk faktor
penyebabnya adalah kebakaran bawah tanah King’s Cross di London pada tahun 1987
dan ledakan platform produksi minyak Piper Alpha pada tahun 1988[1].
Sejak saat itu, konsep budaya keselamatan terutama di industri dengan risiko
tinggi seperti industri nuklir dan petrokimia mengakui pentingnya unsur manusia
dan organisasi dalam pencegahan kecelakaan dan penanganan risiko bahaya.
Banyak literatur yang telah mendefinisikan budaya keselamatan. IAEA
(International Atomic Energy Agency) salah satunya mendefinisikan budaya keselamatan sebagai
serangkaian karakteristik, sikap dan perilaku keselamatan dalam individu dan
organisasi. Sementara itu, Cooper mendefinsikan budaya keselamatan sebagai
konsep yang menggambarkan nilai perusahaan bersama dalam suatu organisasi yang
mempengaruhi sikap dan perilaku pekerjanya. Tiga aspek budaya keselamatan ini
diantaranya adalah aspek perilaku, aspek situasional dan aspek individu. Aspek
perilaku mengacu pada “apa yang dilakukan orang-orang terkait keselamatan” yang
berkaitan dengan perilaku keselamatan atau safety behaviour. Aspek
situasional mengacu kepada “apa yang dimiliki organisasi mengenai keselamatan”.
Sementara itu, aspek individu mengacu pada “apa yang dirasakan tentang
keselamatan” yang merupakan fenomena psikologis dari suatu organisasi karena
menekankan pada persepsi pekerja terhadap sistem manajemen keselamatan yang ada
di organisasinya[2]. Adapun ketiga aspek tersebut saling
berinteraksi timbal balik antara satu dengan yang lainnya dan kemudian membentuk
budaya keselamatan yang positif.
Gambar 1. Konsep Budaya Keselamatan (Cooper, 2001)
Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Griffin dan Neal diketahui bahwa budaya
keselamatan organisasi dapat mempengaruhi kinerja keselamatan. Definisi
mengenai kinerja sendiri menurut Griffin dan Neal adalah perilaku aktual
individu di tempat kerja. Sementara, kinerja keselamatan diartikan sebagai
perilaku kerja yang relevan dengan keselamatan yang dapat dikonseptualisasikan
sama dangan perilaku-perilaku kerja lain yang merupakan hasil kerja. Komponen kinerja menggambarkan perilaku aktuali
yang dilakukan individu di tempat kerja. Komponen tersebut diantaranya: [3]
Safety
complience atau kepatuhan keselamatan, hal ini
berhubungan dengan aktivitas-aktivitas keselamatan yang perlu dilakukan oleh
individu untuk menjaga keselamatan kerja. Perilaku ini seperti menerapkan kerja
sesuai dengan standar operasional prosedur juga melaksanakan pekerjaan secara
aman engan memakai peralatan keselamatan atau alat pelindung diri.
Safety
participation atau partisipasi keselamatan, hal
ini menggambarkan perilaku yang secara tidak langsung mendukung keselamatan
dalam konteks organisasi yang lebih luas dalam hal membantu mengembangkan
lingkungan yang mendukung keselamatan. Perilaku ini seperti berpartisipasi
dalam kegiatan keselamatan secara sukarela, mempromosikan program keselamatan
di tempat kerja serta mendiskusikan dengan rekan kerja mengenai hal-hal yang
terkait dengan keselamatan.
Strategi Peningkatan Budaya Keselamatan
Organisasi dalam hal ini perusahaan untuk mencapai tujuan dan
menjaga kelangsungan hidup perusahaan harus mempertahankan dan mening-katkan
produktivitas karyawannya. Menciptakan budaya organisasi yang mampu membawa
pekerjanya untuk meningkatkan kinerja dalam rangka pencapaian tujuan organisasi
bukanlah hal yang mudah. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya manusia
memiliki karakteristik tingkah laku yang berbeda sesuai dengan kebutuhannya. Namun
apabila terdapat perbedaan atau kesenjangan persepsi antara pekerja dengan
pihak manajerial mengenai budaya organisasi yang dirasakan dan diharapkan, maka
akan tercipta ketidakpuasan kerja, motivasi kerja yang menurun, dan dapat
menimbulkan penyalahgunaan hak dan kewajiban yang pada atau ketidakpatuhan akhirnya
mengakibatkan tujuan organisasi tidak dapat dipenuhi secara optimal. Persoalan
ini semakin menumpuk dengan kecenderungan organisasi untuk berkembang,
menyesuaikan diri dengan perkembangan lingkungan disekitarnya sehingga pekerja
seringkali kehilangan identitas pribadi, dan pihak manajerial semakin sulit untuk
memuaskan kebutuhan pekerja dan mencapai tujuan organisasi sekaligus[4].
Dalam menciptakan budaya keselamatan yang positif sehingga dapat
mempengaruhi kinerja keselamatan pekerja, maka diperlukan berbagai starategi
atau upaya keselamatan. Occupational Safety and Health Administration (OSHA)
mendorong perusahaan untuk memelihara program-program yang menyediakan
kebijakan, prosedur dan praktik yang secara sistematis dapat melindungi pekerja
dan proses ptoduksi dari bahaya keselamatan. Beberapa upaya keselamatan
berdasarkan standar sistem manajemen yang efektif menurut OSHA yaitu: [5]
Komitmen
manajemen terhadap keselamatan, jika manajemen menunjukkan komitmen dan
mendukung dengan memberikan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengelola
keselamatan maka sistem yang efektif dapat dikembangkan dan dipertahankan.
Partisipasi
pekerja, adanya partisipasi pekerja dalam menetapkan, mengimplemantasikan dan
mengevaluasi program keselamatan memungkinkan pekerja untuk menunjukkan
komitmen keselamatan mereka kepada diri sendiri atau rekan kerja.
Identifikasi
dan penilaian bahaya, manajemen yang aktif dan partisipasi pekerja secara
berkesinambungan melakukan identifikasi dan penilaian risiko yang tentunya
dapat berubah sewaktu-waktu.
Pencegahan dan
pengendalian bahaya, menyusun perencanaan yang efektif untuk mencegah risiko
bahaya. Apabila tidak memungkinkan untuk menghilangkan bahaya, perencanaan
dapat membantu mengendalikan kondisi yang tidak aman (unsafe condition.
Informasi dan
pelatihan, merupakan bagian penting dari setiap program untuk memastikan bahwa
pekerja memahami persyaratan dan praktik kerja (SOP), potensi bahaya operasional,
sifat bahaya dan cara mengendalikan bahaya.
Evaluasi
keefektifan program, hal ini untuk memastikan sistem manaje-men sesuai dengan
kondisi di lapangan. Dapat dilakukan dengan mengembangkan sasaran dan tujuan
yang terukur seperti survei persepsi.
Program Pemberdayaan Pekerja
Pemberdayaan merupakan sebuah proses untuk menjadikan orang lebih
berdaya atau lebih berkemampuan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri
dengancara memberikan kepercayaan dan wewenang sehingga menumbuhkan rasa
tanggung jawabnya. Shannon dalam Kines (2011) menjelaskan bahwa dalam tinjauan
terhadap sepuluh studinya menemukan bahwa pemberdayaan pekerja dan safety
represntative memiliki hubungan yang signifikan dengan penurunan angka
cedera. Selain itu, Torner (2009) mengemukakan bahwa kerjasama antar level hirarki
dalam fungsi organisasi, dukungan melalui pemberdayaan dan kepercayaan akan
menunjang keselamatan di tempat kerja[4].
Program yang paling umum dikembangkan dewasa ini yakni program dengan
dasar peningkatan kualitas serta pemberdayaan pekerja (safety empowerment).
Misalnya di salah satu perusahaan petrokimia di Kota Bontang yang menjalankan
program Non Confimity Report (NCR). Program Non Confimity Report
melibatkan setiap pekerja dalam organisasi untuk melaporkan ketidaksesuaian terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan keselamatan seperti:
Unsafe act atau tindakan tidak aman yang dilakukan oleh pekerja seperti; bercanda
atau bersenda gurau berlebihan saat melaksanakan pekerjaan, mengerjakan
pekerjaan yang tidak sesuai dengan skill atau keterampilannya
Unsafe
condition atau kondisi-kondisi yang tidak aman
dan mengancam keselamatan pekerja seperti; tempat kerja yang tidak memenuhi
standar misalnya kurangnya intensitas pencahayaan atau penerangan di ruang
kerja
Nearmiss atau kejadian hampir celaka seperti; terpeleset di tangga namun
tangan pekerja refleks memegang pegangan tanggga dan tidak menimbulkan cedera
Kerusakan fasilitas perusahaan, lingkungan dan
kesehatan seperti; lampu emergency exit rusak hal ini dapat menyulitkan
pekerja untuk mencari pintu keluar apabila terjadi keadaan emergency ditambah
blackout contoh lain misalnya korosi pada pegangan tangga.
Dengan adanya program NCR ini diharapkan setiap pekerja memiliki
rasa bertanggung jawab bersama terhadap setiap kegiatan yang berlangsung dalam proses
kerja serta produksi di perusahaan dan terlibat secara langsung dalam
usaha-usaha menjaga sistem kesehatan dan keselamatan di tempat kerja. Selain
itu program ini juga menutut pekerja untuk lebih peka dengan hal-hal yang
berkaitan dengan keselamatan. Kelebihan dari program NCR adalah jika
dilaksanakan dengan maksimal dengan artian seluruh atau paling tidak lebih dari
setengah dari jumlah pekerja ikut melaksanakan program ini maka jumlah insiden
dapat diminimalisir, mendorong perilaku aman bekerja, membantu manajemen dalam
hal ini Departemen K3 dalam melaksanakan pemeliharaan kesehatan dan keselamatan
kerja di perusahaan serta meningkatkan produktivitas baik pekerja maupun
produksi serta citra perusahaan. Kelemahan dari program ini adalah manajemen
perlu melakukan upaya refreshment sacara terus menurus agar
pekerja tidak jenuh dan dapat terus termotivasi untuk menjalankan NCR, misalnya
dengan sistem reward. Kemudian jika upaya refreshment dengan
metode reward sudah tidak menarik lagi maka dilakukan upaya dengan
memasukkan program NCR dalam rapot tahunan kinerja setiap pekerja. Dengan
konsekuensi apabila NCR tidak
dilaksanakan maka rapot tahunan kinerja pekerja bernilai buruk dan akan
berdapampak secara langsung pada posisi atau jabatan, gaji serta bonus gaji. Program NCR ini banyak
dijalankan oleh perusahaan-perusahaan dengan skala besar terutama di industri
petrokimia dan migas serta telah memiliki sistem kesehatan dan keselamatan
kerja yang terintegerasi. Program NCR ini tentunya juga diikuti oleh
program-program lain dalam rangka memberdayakan pekerja diantaranya pembuatan
HIRADC, Safety Comitee, pelatihan atau training, safety board atau
safety bulletin.
Program lain untuk meningkatkan kinerja keselamatan pekerja dengan
pendekatan pemberdayaan pekerja adalah program Safety Take 5. Pada
pelaksaannya program ini sangat mirip dengan prosedur dalam work permit namun
lebih kompleks. Safety Take 5 bertujuan untuk memastikan apakah setiap
aktivitas dalam suatu pekerjaan sudah bebas dari potensi bahaya yang mungkin
saja belum pernah ditemukan atau teridentifikasi sebelumnya. Singkatnya,
melakukan penilaian risiko di setiap suatu pekerjaan akan dimulai atau apabila
terdapat perubahan kondisi lingkungan kerja. Namun hal ini tidak berarti
mengganti atau mengoreksi penilaian risiko yang telah dilakukan formal oleh
manajemen sebelumnya (HIRADC). Ingat bahwa sifatnya hanya untuk memastikan
kembali suatu pekerjaan aman untuk dilaksanakan. Safety Take 5 yang banyak
diterapkan di perusahaan ini pada dasarnya memiliki 5 tahapan yaitu:
STOP! Think
Through the Task, pada tahap ini pekerja harus memastikan apakah ia memahami
betul tugas atau pekerjaan apa yang akan dilakukan, memiliki kemampuan dan
lisensi untuk melakukan pekerjaan tersebut, telah diizinkan untuk melakukan
pekerjaan tersebut (dari tim, supervisor atau bagian produksi) serta telah
membawa peralatan juga memakai alat pelindung diri yang benar. Apabila hal-hal
tersebut tidak terpenuhi maka pekerja harus Stop!
LOOK for
Hazard, pada tahap ini pekerja diminta untuk mengidentifikasi potensi bahaya
apa saja yang ada pada pekerjaan yang akan ia kerjakan. Misalnya bahaya Enviromental
diantaranya bahaya confined space (ruang terbatas), temperatur
ekstrem ataupun kebisingan. Pengkategorian bahaya bisa jadi bervariasi
tergantung jenis form Safety Take 5 model apa yang digunakan, pada
umumnya faktor atau jenis bahaya dibagi kedalam 5 faktor (fisika, kimia,
biologis, ergonomi dan psikologis). Namun hal ini tidak berdampak pada
penilaian, karena sebatas konseptual.
ASSESS the
Hazard, setelah mengidentifikasi potensi bahaya kemudian pada tahap ini pekerja
diminta untuk menilai seberapa besar kemungkinan dan konsekuensi dari bahaya, kemudian
menentukan level risiko. Apabila level risiko cenderung tinggi atau pada level
tertentu yang telah disepakati oleh organisasi sebelumnya maka pekerja harus
Stop! dan mengklarifika-sinya kepada supervisor pekerjaan terkait.
MANAGE the
Hazard, pada tahap ini pekerja sedapat mungkin mengontrol hazard yang ada
dengan hierarchy of control dan kemudian memastikan apakah pekerjaan
sudah bisa dilakukan dengan aman.
COMPLETE the
Task Safely, pada tahap ini pekerja sudah dapat melaksanakan tugasnya dengan
aman dengan catatan tetap waspada akan setiap perubahan yang mungkin terjadi
pada lingkungan kerjanya.
Gambar 2. Contoh Form Safety Take 5 by Kalamzoo Safety
Take 5 Book (Kalamzoo
Australia, 2013)
Dalam pelaksanaanya program ini dianggap membuang-buang waktu,
terutama apabila suatu pekerjaan harus segera dilakukan atau di intervensi
secepatnya. Padahal dengan pelaksaan program ini membuat pekrjaan tersebut dapat
diselesaikan dengan lebih cepat, mudah, murah dan yang paling utama aman.
Karena akibat-akibat buruk yang ditimbulkan baik saat pekerjan sedang dilakukan
maupun setelah dilakukan dapat diminimalisir sedemikian rupa. Contoh kasus
dimana seorang pekerja ingin melakukan
pekerjaan pengecekan material bahan curah berupa bebatuan, kerikil dan pasir
pada Silo atau Bunker Penyimpanan yang memiliki tinggi sekitar 25 meter,
setelah memanjat atau menaiki tangga setinggi tersebut kemudian ia baru
menyadari bahwa ia lupa membawa kunci untuk membuka inspection hatch, alhasil
ia harus turun kembali dan mengambil kunci tersebut dan memulai pekerjaannya
dari awal yaitu memanjat atau menaiki tangga tentunya dengan risiko ia terpapar
bahaya dengan frekuensi dua kali lipat. Bila saja si pekerja melaksanakan Safety
Take 5 sebelum melaksanakan pekerjaannya maka pekerjaa tersebut dapat
diselesaikan dengan lebih cepat, lebih mudah, dan hemat tenaga.
Gambar 3. Silo
penyimpanan 27 jenis bebatuan, kerikil, pasir untuk bahan bangunan di
Copenhagen, Denmark. (Wikipedia, 2003)
Kesimpulan
Budaya keselamatan dan kesehatan kerja merupakan hasil dari
persepsi bersama yang berdasarkan dari nilai dan membentuk sebuah kebiasaaan
keselamatan kerja yang terus menerus di suatu organisasi atau tempat kerja.
Telah banyak penelitian membuktikan bahwa budaya keselamatan yang positif dapat
mempengaruhi kinerja keselamatan, hal ini secara langsung berdampak pada
pencapaian produktivitas pekerja dan organisasi.
“Beritahu
saya, maka saya akan lupa
Tunjukkan
kepada saya, maka saya akan ingat
Libatkan
saya, maka saya akan mengerti”
Seperti pepatah Cina diatas, dalam membangun budaya keselamatan
sangat dibutuhkan peran aktif dari para pekerja serta manajemen sebagai provider
dan penentu kebijakan. Dewasa ini usaha-usaha atau program kesehatan dan
keselamatan yang umum dilaksanakan berbasiskan pemberdayaan pekerja, sehingga
budaya keselamatan itu sendiri terbentuk dari kemandirian pekerja juga lebih
melekat dan bukan lagi program “kucing-kucingan” antara pekerja dan manajemen.
Banyak program-program keselamatan dengan basis pemberdayaan pekerja dikembangkan
diantaranya ada Non Conformity Rate, Safety Take 5, Behaviour Based Safety,
Safety Comitee, Emergency Response Team pelatihan keselamatan dan lain
sebagainya.
Referensi
[1] Antonsen,
S., 2009. Safety Culture: Theory, Method and Improvement. Ashtage Publishing, Aldershot.
[2] Cooper, M.,
2000. Towards a Model of Safety Culture. Safety Sciense 36: 111-136
[3] Griffin,
M.A., Neal, A., 2000. Perceptions of Safety at Work: a Framework for Linking
Safety Climate to Safety Performance, Knowladge and Motivation. Journal of
Occupational Health Psychology
[4] Muslima,
A., 2017. Gambaran Iklim Keselamatan (Safety Climate) di Unit Base
Maintanance PT Garuda Maintanance Facility (GMF) Aeroasia Tahun 2017.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
[5] Roughton,
J., Mercurio, J., 2002. Developing an Effective Safety Culture: A Leadership
Approach